Menunggu Lampu Hijau

Mungkin gak hanya dia yang protes tentang angka empat di Jam Gadang ini, tapi itu pertama kalinya aku melihat seorang perempuan yang terlihat ingin menghancurkan Jam Gadang ini hanya karena angka empat tersebut.

“Angka empat romawi tuh ya gini, bukan kayak yang di atas itu,” katanya sambil memperlihatkan tulisan angka romawi di bukunya.

Tapi memang di situlah uniknya dimana angka empat romawi itu tertulis IIII di tempat wisata Bukit Tinggi ini.

Aku hanya bisa menjelaskan mengapa bisa terjadi seperti itu, ya walaupun gak tau benar asal-usulnya yang penting dia gak lagi mempersalahkan hal itu.

Aku dan dia berencana untuk menunggu hingga malam tiba di tempat ini. Menunggu lampu-lampu hijau di atas Jam Gadang itu bersinar.

Selama menunggu itu aku hanya menikmati setiap obrolan kami. Tak hanya itu kami juga menyantap jajanan di sekitar lokasi Jam Gadang. Berkeliling sambil bercanda ria di antara para wisatawan lokal maupun non-lokal.

Hari itu sangat berharga bagiku, ya setidaknya itu yang tetap terjaga di memoriku ini.

Hingga malam tiba, lampu-lampu hijau yang berada di atas Jam Gadang pun bersinar. Lampu-lampu hias di sekeliling pun menambah suasana menjadi sangat indah dan romantis. Setidaknya menurut mereka.

“Raihan!” panggilnya, kami sedang duduk menikmati keramaian malam. Aku hanya bergumam membalasnya.

“Kamu tahu kan aku mengajakmu kesini untuk apa?”

Aku terdiam sejenak, kemudian ku menoleh padanya. Ya aku tahu, tidak hanya sekedar untuk menunggu lampu-lampu hijau dan kawan-kawannya itu. Tak hanya membincangkan masalah angka empat romawi saja, menikmati berada di tengah-tengah wisatawan.

Tiba-tiba ia memberikanku secarik kertas.

“Mungkin kau akan membutuhkan itu.” Kemudian dia berdiri dan berjalan meninggalkanku.

“Rena!” panggilku, ia berhenti dan berbalik badan menghadapku.

Kata-kata yang akan ku ucap tidak dapat keluar. Lidahku membeku. Tapi ternyata ia paham karena kemudian ia hanya tersenyum. Dan aku mengerti senyumannya itu. Dan ia pun berlalu.

Dan kini aku menungu lampu-lampu itu kembali setelah beberapa tahun itu. Sambil melihat postcard yang baru diterimanya tadi pagi.

Hai Raihan

Sudah lama tidak kita berinteraksi. Kau tahu aku kangen padamu. Oh iya aku disini baik-baik, bagaimana denganmu? Ku harap kau baik-baik saja disana. Oh iya apa angka empat romawi itu sudah diganti? Haha kuharap sudah, tapi aku kangen tempat itu. 

Oh aku mengirimkan foto-foto ku disana, aku harap kau sudah melihatnya. Ah iya, mungkin aku akan kesana saat libur tiba. Dan berharap aku akan bertemu denganmu. Ini saja dariku, kutunggu balasan darimu. 

Rena, Paris, April 16th 2000

Aku melihat foto-fotonya disana, begitu memukau tempat tersebut. Dan berhenti di foto terakhir. Bayi laki-laki yang menurutku sangat menggemaskan. Aku membalikan foto itu dan terdapat tulisan darinya.

Namanya Ray, Kuambil dari namamu. Anak yang akan penuh sinar hangat seperti dirimu. 

Aku kembali mengambil salah satu dari foto-fotonya itu. Foto dengan keluarga kecilnya, ia terlihat sedang menggendong Ray.

Dan tak sadar malampun tiba, lampu-lampu sekitar Jam Gadang pun nyala bersaut-sautan. Termasuk lampu yang menghiasi atas Jam Gadang tersebut. Menikmati beberapa tahun yang lalu itu, sebuah perpisahan yang tak terlupakan.

Leave a comment